Antara TRANS STUDIO dan Rakyat Kecil



Setelah TRANS Corporation berhasil “menghypnotis” warga timur Indonesia dengan Trans Studionya di Makassar, akhir bulan Juni ini giliran warba barat Indonesia khususnya yang berada di Bandung dan sekitarnya yang akan “dihypnotis” oleh keberadaan Trans Studio Bandung. Tak salah memang apa yang dibangun TRANS Corp, justru dengan adanya tempat-tempat seperti itu bisa menyerap ribuan tenaga kerja masyarakat Indonesia.
Akan tetapi ada hal yang sangat saya pikirkan dari pembukaan Trans Studio Bandung, betapa tidak terkejut ketika saya melihat advertorial harian Kompas yang menginformasikan tiket masuk Trans Studio Bandung Rp. 150.000 untuk hari Senin s/d Jumat sedangkan untuk hari Sabtu, Minggu, dan hari Libur dibanderol seharga Rp. 200.000 bukan harga yang murah bukan? bayangkan uang Rp. 150.000 kalau kita pake untuk beli bakso, berapa mangkok kah bakso yang bisa kita beli?
Saya menulis ini bukan karena saya ingin berdemo kepada pihak TRANS Corp lantaran tiketnya terlalu mahal, justru bagi saya sih wajar saja kalau memang hiburan yang disajikan menarik, bulan lalu saya mengunjungi Makassar dan menyempatkan diri menikmati wahana TRANS Studio Makassar, kalau menurut saya lumayanlah (sebanding dengan tiket masuk).
Yang saya ingin bahas disini, mengapa rakyat yang sebagian besarnya generasi muda, bela-belain ngantri dan merogoh kocek banyak untuk menikmati hiburan semacam itu? sedangkan untuk mengunjugi museum yang menyimpan sejuta pesan nenek moyang serta pahlawan kita, rakyat enggan padahal gratis dan tak perlu antri!
Bahasan selanjutnya, berbondong-bondong orang merogoh uang banyak hanya demi mengikuti parade antri di dalam TRANS Studio, akan tetapi disisi lain, tengok saja setiap sudut kota Bandung. Bukankah di setiap sudut kota Banudung masih banyak gelandangan, pengamen, pengemis, anak yatim, kaum dhuafa, anak putus sekolah, anak jalanan, PSK, dan lain sebagainya yang menggatungkan hidupnya dalam lingkaran kehinaan? tapi mengapa kalau untuk menolong mereka, mengeluarkan uang Rp. 10.000/bulan saja seolah-olah sulit rasanya. Tapi bukan berarti saya menganjurkan memberikannya di lampu merah, karena menurut saya kurang mendidik, banyak cara lain untuk membantu mereka.
Bukan hanya warga masyarakat yang saya herankan, melainkan kepada pemerintah juga saya sangat heran. Mengapa pemerintah kalau dalam menata atau merawat museum-museum peninggalan jaman dulu yang bersejarah kesannya setengah-setengah apalagi museum yang ada di daerah-daerah, jkemudian heran saya yang kedua, mengapa dalam program mengurangi angka kemiskinan pemerintah birokrasisnya sangat sulit? terkesan setengah-setengah? tapi mengapa kalau ada Investor yang ingin membuat tempat hiburan semacam ini Pemerintah sangat bersemangat sekali? Inikah yang dinamakan pemerintah yang memiliki cita-cita  
“melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar